Minggu, 07 Desember 2014

AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Tidak ada komentar:

I.      SISTEM BERMADZHAB DALAM NU


A.    Pengertian Madzhab

Madzhab menurut bahasa berarti jalan, aliran, pendapat atau paham, sedangkan menurut istilah madzhab adalah metode dan hukum-hukum tentang berbagai macam masalah yang telah dilakukan, diyakini dan dirumuskan oleh imam mujtahid.
Jadi, bermadzhab adalah mengikuti jalan berpikir salah seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari sumber Al-Qur’an dan hadits.

Setiap orang Islam diwajibkan mempelajari ajaran agamanya dan memahami hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits. Namun kenyataannya tidak setiap orang mampu memahami dan mengamalkan isi kandungan dari dua sumber tersebut. Hanya sebagian saja yang mampu melakukan hal tersebut, dengan beberapa persyaratan yang ketat agar hasil ijtihadnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya para imam-imam madzhab, yakni Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ibnu Hambali

B.   Dasar Hukum Bermadzhab

1.    Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an ada petunjuk yang menjadi dasar perintah kewajiban mengikuti madzhab, yakni perintah Allah, agar kita mentaati Allah dan Rasul-Nya serta Ulil Amri. Kata “Ulil Amri” adalah orang yang memimpin atau memerintah, dan termasuk di dalamnya para ulama (ahli Ilmu), secara lebih khusus kita diperintah untuk mengikuti jalan pikiran para ulama, yakni bermadzhab.

2.    Al-Hadits.
Disebut dalam banyak hadits agar kita mengikuti golongan paham yang paling besar dari umat Islam. itu dikarenakan kelompok paling besar (mayoritas) kemungkinan sangat kecil sekali untuk membuat kesepakatan guna menyeleweng hukum-hukum Islam.

3.    Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan pendapat para ahli mujtahid pada suatu zaman sepeninggal Rasulullah mengenai suatu ketentuan hukum syariah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan metode penetapan hukum yang wajib diamalkan.

C.   Sistem Bermadzhab
Bermadzhab pada masa sekarang ini tidak dapat dihindarkan lagi. Di kalangan Ahlussunah Wal jamaah bermadzhab merupakan suatu pilihan yang dilakukan oleh setiap muslim yang tidak berstatus sebagai mujtahid muthlaq. Pada dasarnya bermadzhab tidak bertentangan dengan sistem ijtihad dan sistem taqlid, tetapi justru untuk mengkombinasikan antara keduanya sesuai dengan proporsinya.
Dalam pandangan Ahlussunah wal jama’ah ada empat madzhab yang dianggap mu’tabar  yang dikenal  dengan  “Al Madzaahibul Arba’ah”. Empat madzhab, ini adalah madzhab yang dianut mayoritas umat Islam dunia, yang secara tegas membela dan mengamalkan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Ada tiga kelompok dengan pandangan masing-masing terhadap madzhab, yaitu :
1.    Kelompok yang berkeyakinan bahwa bermadzhab merupakan satu-satunya cara yang menjamin untuk memahami dan menjalankan ajaran atau hukum dari Al-Qur’an dan hadits.
2.    Kelompok yang secara serius menghapus madzhab-madzhab dan sistem bermadzhab serta mengajak langsung memahami Al-Qur’an dan hadits.
3.    Para ulama nahdlatul ulama telah berhalaqoh di ponpes Denanyar Jombang untuk merumuskan pokok-pokok pendirinya mengenai madzhab dan bagaimana bermadzhab itu.
Adapun hasil keputusannya adalah sebagai berikut :
a.       Sistem bermadzhab adalah cara yang terbaik untuk memahami dan mengamalkan ajaran atau hukum Islam dari Qur’an dan hadits.

b.       Madzhab adalah :
1.    Manhaj (metode) yang digunakan oleh seorang Mujtahid dalam menggali (Istimbath) ajaran / hukum Islam dari Al-Qur’an dan hadits.
2.    Aqwal (ajaran/hukum) adalah hasil istimbath dari seorang mujtahid.

c.     Bermadzhab adalah mengikuti suatu madzhab, dengan cara :
 1.   Bagi orang awam bermadzhab secara “qauli
 2.  Bagi orang yang punya perangkat keilmuan tetapi belum mencapai tingkat mujtahid mutlak mustaqil, bermadzhab secara manhaji

d.      Bermadzhab manhaji dilakukan dengan istimbath jama’i dalam hal-hal yang tidak ditemukan “aqwalnya” (ajaran/hukum) dalam empat madzhab oleh para ahlinya.

e.      Bermadzhab secara “manhaji” maupun “qauli” hanya dilakukan dalam lingkup madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.

II.     TAQLID

A.    Arti Taqlid

Taqlid adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid yang diyakini pendapat dan pemikirannya, karena pendapat cemerlang tersebut bersumber dan sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits.

B.    Hukum Taqlid

Berlaku taqlid dibenarkan oleh agama Islam sebagaimana firman Allah SWT yang artinya “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui dalil-dalilnya”.

C.   Taqlid Dalam perspektif NU

Taqlid bagi NU dengan pengertian yang telah didefinisikan di atas dan ditulis dalam berbagai kitab-kitab Syafi’iyah adalah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalilnya.

Taqlid dalam perspektif NU adalah merupakan pengamalan ajaran agama Islam dengan cara mengikuti beberapa pendapat ulama (syafi’iyah) yang proses pembelajarannya melalui silsilah sanad yang langsung berturut-turut sampai kepada penulisnya bahkan sampai kepada imam Syafi’i.

III.   ITTIBA’ TARJIH DAN TALFIQ

A.    ITTIBA’

Ittiba’ adalah orang yang mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui dalil-dalilnya. Orang demikian disebut muttabi’, yaitu orang yang tidak mampu berijtihad, tetapi mengetahui dalil-dalil para mujtahid. Mereka disebut pula  “muhaqqiqun” yaitu orang yang mampu meneliti, memeriksa dan menyelidiki mana pendapat yang lebih kuat dan lemah. Dan mereka dapat memilih pendapat-pendapat yang sehat (sohih maqbul), dan meninggalkan pendapat yang lemah (dho’if). Karena itu selain Al-Qur’an, sunnah Nabi, qoul, dan amal para sahabat, serta hasil ijtihad beberapa tabi’in dan para imam madzhab, para muttabi juga menjadi hujjah dalam agama dan ilmu syari’ah

B.   TARJIH

Tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil atas lainnya, sehingga diketahui yang lebih kuat, kemudian diamalkannya, dan disishkan yang lainnya atau tarjih berarti memenangkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan, karena ternyata yang satu lebih kuat daripada yang lainnya. Dalam tarjih, ada dua istilah yang perlu diketahui :
a.     Yang lebih kuat disebut “rajih
b.     Yang lemah disebut “marjih

Sebagian hukum syara’ , banyak yang dihasilkan dengan jalan ijtihad, yang dalilnya kebanyakan bersifat “dhonny”, sedangkan dalil-dalil dhonny ada yang tampak pada lahirnya, satu dengan yang lain bertentangan dan tidak dapat dikompromikan, sehingga para ulama terpaksa memilih salah satunya yang lebih kuat.

C.   TALFIQ

Talfiq adalah beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang merupakan gabungan dari dua madzhab atau lebih. Contohnya tentang wudlu, yaitu urusan niat dan mengusap kepala :
a.        Menurut madzhab Hanafi, niat tidak wajib dan kepala harus diusap minimal seperempatnya.
b.        Menurut madzhab Syafi’I, niat wajib dan kepala harus diusap sebagian kecil.
c.        Menurut madzhab Maliki, niat wajib, dan kepala harus diusap seluruhnya.
d.        Menurut madzhab Hambali, niat wajib dan kepala harus diusap seluruhnya.

Seandainya ada yang berwudlu tanpa niat (mengikuti madzhab Hanafi) dan hanya mengusap sehelai rambutnya (Syafi’i mengikuti madzhab), maka melakukan demikian disebut Talfiq. Madzhab Syafi’i tidak membenarkannya karena tidak niat. Madzhab Hanafi tidak membenarkannya karena kepada diusap kurang dari seperempatnya. Begitu pula madzhab Maliki dan Hambali, tidak membenarkannya karena tidak ada niat kepala tidak diusap seluruhnya.


IV.   PRINSIP-PRINSIP AJARAN MADZHAB DALAM NU

A.    Ajaran Ahlus Sunnah Wal jama’ah di Bidang Aqidah

Golongan ahlussunah wal jama’ah dalam bidang akidah mengikuti rumusan imam Al-Asya’ari yang meliputi enam perkara yang lebih dikenal degan rukun iman.
Beberapa contoh rumusan akidah Ahlus sunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut :
1.    Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, sifat wajib adalah sifat-sifat yang harus ada pada Allah SWT yang berjumlah 20, sifat mustahil adalah sifat-sifat yang tidak boleh ada pada Allah yang berjumlah 20, dan sifat jaiz bagi Allah yang berjumlah 1 (satu) yaitu Allah itu boleh menciptakan sesuatu atau tidak.
2.    Ahli kubur dapat memperoleh manfaat  atas amal sholeh yang dihadiahkan orang mukmin yang masih hidup kepadanya seperti bacaan Al-Qur’an, dzikir, dan lain-lain.
3.    Orang mukmin yang berdosa dan mati, nasibnya diakhirat terserah Allah, apakah akan diampuni atau mendapat siksa dahulu neraka yang bersifat tidak kekal.
4.    Rezeki, jodoh, ajal, semuanya telah ditetapkan pada zaman azali. Perbuatan manusia telah ditakdirkan oleh Allah, tetapi manusia wajib berikhtiar untuk memilih amalnya yang baik.
5.    Surga dan neraka serta penduduknya akan kekal selama-lamanya.
Dan masih banyak prinsip-prinsip pokok akidah yang lain.

B.   Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Bidang Syari’ah

            Dalam bidang syari’ah (fiqih) kaum Ahlus sunnah Wal jama’ah berpedoman pada empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Hal-hal yang perlu diketahui adalah :
1.    Membaca sholawat berarti menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2.    Menyentuh dan membawa Al-Qur’an harus suci dari hadats kecil dan besar.
3.    Membaca tahlil, sholawat, surat yasin disunnahkan.
4.    Membaca do’a qunut pada sholat shubuh disunnahkan.
5.    Membaca Al-Qur’an di kuburan dibolehkan dan disunnahkan.
6.    Sholat fardlu yang tertinggal atau lupa tidak dikerjakan wajib diqadla.
7.    Ziarah kubur hukumnya sunnah bila bertujuan untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat dan untuk mendo’akan orang Islam, dan lain-lain.

C.   Ajaran Ahlussunnah Wal jama’ah di Bidang Akhlaq

Kaum Ahlus sunnah Wal Jama’ah dalam bidang akhlaq atau tasawuf mengikuti imam Abu Qasim Al-Junaidi dan Imam Ghozali berkata “bahwa tujuan memperbaiki akhlaq itu adalah untuk membersihkan hati dari kotoran hawa nafsu dan marah, sehingga hati menjadi suci bagaikan cermin yang dapat menerima nur cahaya Tuhan”.
Menurut imam Junaidim ada tiga tingkat dasar dalam menempuh tarekat :
1.    Takhali, yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela baik lahir maupun batin.
2.    Tahali, yaitu mengisi diri dan membiasakan diri dengan sifat-sifat terpuji.
3.    Tajalli, yaitu mengamalkan sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.

D.   Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Bidang Sosial Kemasyarakatan dan Politik

Dalam bidang sosial kemasyarakatan dan politik, kaum Ahlus Sunnah Wal jama’ah mampunyai prinsip dan ciri khas yang berbeda dengan golongan lain. Dalam beberapa hal ada persamaan pendapat dan dalam hal lainnya ada perbedannya. Hal ini tampak jelas dalam beberapa masalah, antara lain :

1.    Masalah Khilafiyah
Dalam masalah kepemimpinan dan pemerintahan wajib ditegakkan sebagai pewaris kepemimpinan Rasulullah SAW. namun bentuk kongkritnya diserahkan kepada umatnya sendiri, sebab dalam mengurus urusan dunia, ajaran Islam menyerahkannya pada umat dengan jalan bermusyawarah untuk memperoleh hasil yang terbaik dan bermanfaat.
Allah berfirman yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman Taatlah kamu sekalian kepada Allah dan kepada Rasul-nya dan ulil Amri dari kamu sekalian” (Qs. An-Nisa’ : 59)
Yang dimaksud ulil amri adalah khalifah penguasa yang kepemimpinannya wajib diikuti oleh rakyatnya, kewajiban mentaati disini dengan syarat pemerintahan harus dijalankan atas dasar prinsip kebenaran dan berlaku adil.

2.    Masalah Persaudaraan dan Perbedaan Pendapat
Pendirian Ahlussunnah Wal jama’ah bahwa semua muslim adalah bersaudara dan jika, terjadi perbedaan pendapat (perselisihan) diusahakan “islah” (berdamai), menurut prosedur yang telah ditetapkan. Jika terjadi perselisihan dan kesalahan hasur dicari jalan keluarnya dan diperbaiki menurut tata cara yang disepakati.

3.    Masalah Dosa
Perbuatan dosa adalah perbuatan yang dilakukan tidak berdasarkan perintah agama dan bertentangan dengan ajaran agama ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendirian bahwa setiap orang yang menyekini kebenaran syahadatain. Betapa besar dosanya, dia tetap dianggap sebagai muslim. Agar supaya kita tidak terjerumus dalam perbuatan dosa baik kecil maupun besar, maka perlu menyadari akibat perbuatan dosa yang kita lakukan. Dengan demikian kita dapat mengendalikan hawa nafsu dan berpikir lebih jauh setiap tindakan yang akan dilakukan dan akibatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top