Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa
yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara mustahabb (sunnah) yang
disukai Allah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para
sahabat, yang akan kita sebutkan berikut ini.
Di antaranya, hadits riwayat al-Imam at-Tirmidzi dan lainnya,
bahwa ada dua orang Yahudi bersepakat menghadap Rasulullah. Salah seorang dari
mereka berkata: “Mari kita pergi menghadap -orang yang mengaku- Nabi ini untuk
menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa”. Tujuan
kedua orang Yahudi ini adalah hendak mencari kelemahan Rasulullah, karena beliau
adalah seorang yang Ummi (tidak membaca dan tidak menulis). Mereka menganggap
bahwa Rasulullah tidak mengetahui tentang sembilan ayat tersebut. Ketika mereka
sampai di hadapan Rasulullah dan menanyakan prihal sembilan ayat yang diturunkan
kepada Nabi Musa tersebut, maka Rasulullah menjelaskan kepada keduanya secara
rinci tidak kurang suatu apapun. Kedua orang Yahudi ini sangat terkejut dan
terkagum-kagum dengan penjelasan Rasulullah. Keduanya orang Yahudi ini kemudian
langsung mencium kedua tangan Rasulullah dan kakinya. Al-Imam at-Tarmidzi
berkata bahwa kulitas hadits ini Hasan Shahih#.
Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari sahabat
Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata: “Ketika turun ayat tentang (diterimanya)
taubat-ku, aku mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua
lututnya”#.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya al-Adab
al-Mufrad bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib telah mencium tangan al-‘Abbas ibn
‘Abd al-Muththalib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali lebih tinggi derajatnya dari
pada al-‘Abbas. Namun karena al-‘Abbas adalah pamannya sendiri dan seorang yang
saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya tersebut#.
Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, salah seorang dari
kalangan sahabat yang masih muda ketika Rasulullah meninggal. ‘Abdullah ibn
‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah lainnya untuk menuntut ilmu dari
mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat
senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar
dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas memegang tempat
pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. ‘Abdullah ibn ‘Abbas
menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba
Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga
Rasulullah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami memperlakukan keluarga
Rasulullah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas.
Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar ibn al-Muqri dalam Juz Taqbil
al-Yad.
Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam kitab
Thabaqat dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi, bahwa ia berkata: “Kami
telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan
tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata: “Dengan
tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih
tangan beliau dan menciumnya”#.
Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa al-Imam
Muslim mencium tangan al-Imam al-Bukhari. Al-Imam Muslim berkata
kepadanya:
وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ رِجْلَكَ.
“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”#.
Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut: “Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rasulullah, beliau berkata:
فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)
“Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan kakinya”. (HR. Abu Dawud)
Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini disebutkan:
فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan (al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud) dengan sanad yang kuat.
وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ رِجْلَكَ.
“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”#.
Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut: “Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rasulullah, beliau berkata:
فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)
“Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan kakinya”. (HR. Abu Dawud)
Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini disebutkan:
فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan (al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud) dengan sanad yang kuat.
Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk rombongan utusan ‘Abd
al-Qais, bahwa ia berkata:
فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari 'Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar berkata kepadaku:
قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.
“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullah)”. (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)#.
Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.
“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.
Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.
فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari 'Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar berkata kepadaku:
قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.
“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullah)”. (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)#.
Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.
“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.
Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.
Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil
tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu
tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri
dan menampakkan keangkuhan.
Sedangkan hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi
dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat
Rasulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa
Rasulullah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan
berdiri untuk
menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai
hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan
demikian, Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan
keringanan bagi ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang
suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena
beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan
al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد والتّرمذيّ)
berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد والتّرمذيّ)
berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.
Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa
Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini
adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits#.
Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits
dla’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia
meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan
dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!?
Hasbunallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar