Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam
mengajarkan kepada sebagian umatnya untuk berdo'a di belakangnya (tidak di
hadapannya) dengan mengucapkan:
"اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني
أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي"
Maknanya: "Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan
Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku
memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar
dikabulkan".
Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah
seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan
kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di majlis Rasulullah) dan
kembali ke majlis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang
sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu
ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada
masa khalifah Utsman ibn 'Affan –semoga Allah meridlainya- yang tengah
mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman.
Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat
memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia
mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan
dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini
dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits
ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan
dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits
ini shahih" [1] -, al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin,
juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama
muta-akhkhirin yang lain.
Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi
shallallahu 'alayhi wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya
(tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan
Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu
sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini
tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada
yang menasakhkannya. Dari sini diketahui bahwa orang-orang Wahhabi yang
menyatakan bahwa tawassul adalah syirik dan kufur berarti telah mengkafirkan
ahli hadits tersebut yang mencantumkan hadits-hadits ini untuk diamalkan. Semoga
Allah melindungi kita dari paham yang tidak lurus seperti paham orang-orang
wahhabi ini. [2]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari
Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda
:
"من خرج من بيته إلى الصلاة فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك
وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك
وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تنقذنـي من النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب
إلا أنت ، أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك" (رواه أحمد في المسند
والطبراني في الدعاء وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير
وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي
والحافظ الدمياطي وغيرهم). ومعنى "أقبل الله عليه بوجهه" ليس على ظاهره بل هو مؤول
بمعنى الرضا عنه .
Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan
shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik
yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku
ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap
angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan sum'ah, aku keluar rumah untuk
menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu:
selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak
ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan
tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam
"al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam"
'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al
Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn
Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh
ad-Dimyathi dan lain-lain).
Dalam hadits ini juga terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan
para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadits ini
adalah salah satu dalil Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk membantah golongan Wahhabi
yang mengharamkan tawassul dan mengkafirkan pelakunya. [3}
Sedangkan tentang mengambil berkah dengan berziarah ke makam para nabi
dan wali, Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Nabi Musa berdoa :
" ربّ أدنني من الأرض المقدسة رمية بحجر "
Maknanya: "Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun
sejauh lemparan batu"
Kemudian Rasulullah bersabda :
" والله لو أني عنده لأريتكم قبـره إلى جنب الطريق عند الكثيب
الأحمر"
Maknanya : "Demi Allah, jika aku di dekat kuburan Nabi Musa niscaya
akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al
Katsib al Ahmar"
Al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata : "Dalam hadits ini terdapat
dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah
ke sana dan memenuhi hak-haknya". Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh
Syamsuddin ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin
:
ومن مواضع إجابة الدعاء قبور الصالـحين
Maknanya: " Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan
orang-orang yang saleh "
Apalagi jika itu adalah kuburan Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi
wasallam seperti yang dilakukan oleh sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani
(H.R. al Bayhaqi, Ibn Abi Syaybah dan lain-lain dan dishahihkan oleh al Bayhaqi
dan Ibnu Katsir). Hal ini juga dilakukan oleh al Imam asy-Syafi'i terhadap
kuburan al Imam Abu Hanifah.
___________________________________
[1].
Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan bahwa hadits ini shahih, baik
yang marfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa di masa sayyidina 'Utsman), di
antaranya al Hafizh ath-Thabarani. Masalah tawassul dengan para nabi dan orang
saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para ulama Islam sebagaimana dinyatakan
oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf,
al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al
Hanafi dalam Syarh al Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al
Madkhal
[2].
Golongan Wahhabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi.
Mereka menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, mengkafirkan orang-orang yang
bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih, mengharamkan peringatan
maulid Nabi dan membaca al Qur'an untuk orang-orang muslim yang sudah meninggal
dan mereka memiliki banyak kesesatan-kesesatan yang lain. Para ulama Ahlussunnah
banyak sekali yang membantah mereka ini seperti Mufti Madzhab Syafi'i di Makkah
al Mukarramah Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 134 H) dalam kitab tarikh yang salah
satu fasalnya berjudul Fitnah al Wahhabiyyah, Mufti madzhab Hanbali di Makkah al
Mukarramah Syekh Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid (W. 1295 H) dalam kitabnya
as-Suhub al Wabilah 'Ala Dlara-ih al Hanabilah, Syekh Ibn 'Abidin al Hanafi (W.
1252 H) dalam Hasyiyahnya, Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H) dalam
kitabnya Hasyiyah 'Ala Tafsir al Jalalain. Bagi yang menginginkan penjelasan
yang panjang lebar baca kitab al Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dlalalat Ahmad
ibn Taimiyah.
[3].
Di antara orang yang menyalahi Ahlussunnah dalam masalah ini adalah Yusuf al
Qardlawi. Ia menyatakan bahwa bertabarruk dengan peninggalan orang-orang yang
saleh termasuk syirik -wal 'iyadz billah- sebagaimana ia tuturkan dalam kitabnya
al Ibadah fi al Islam. Kesesatan al Qardlawi yang lain adalah seperti pernyataan
bahwa Rasulullah bisa saja salah dalam hal agama seperti ia sampaikan lewat
layar televisi al Jazirah, 12 september 1999. Al Qardlawi juga membolehkan bagi
seorang perempuan yang masuk Islam untuk tetap menjadi istri suaminya yang kafir
sebagaimana diangkat oleh Koran asy-Syarq al Awsath juga di situs-situs
internet. Al Qardlawi juga melarang membaca al Fatihah untuk orang-orang Islam
yang meninggal dunia, hal ini ia sampaikan lewat stasiun TV al Jazirah. Telah
banyak para ulama Islam yang membantah al Qardlawi di antaranya adalah Syekh
Nabil al Azhari, Syekh Khalil Daryan al Azhari, Mantan Menteri Agama dan Urusan
Wakaf Emirat Arab Syekh Muhammad ibn Ahmad al Khazraji, Rektor al Azhar
University Dr. Ahmad Umar Hasim, Dr. Shuhaib asy-Syami (Amin Fatwa Halab,
Syiria), al Muhaddits Syekh Abdul Hayy al Ghumari, Dr. Sayyid Irsyad Ahmad al
Bukhari dan lain-lain. Di antara ulama Indonesia yang membantah al Qardlawi
adalah Habib Syekh ibn Ahmad al Musawa. Karena ini semua maka kita harus
mewaspadai karya-karya al Qardlawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar