Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat
nash (teks) yang jelas ; yang tidak mengandung kecuali satu makna
tentangnya.
Jadi Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang
memiliki keahlian dalam hal ini. Ia adalah seorang yang hafal ayat-ayat
ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad
dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh,
‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai
betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai
dengan bahasa al Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli
ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui
hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para ulama) para
ulama sebelumnya.
Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat besar lagi
yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar.
Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari
dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila
diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah
perbuatan baiknya.
Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid; mengikuti
pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut
di atas
Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits
Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:
" نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها ، فربّ حامل مبلغ
لا فقه عنده " (رواه الترمذي وابن حبان)
Maknanya : “Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang
mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia
mendengarnya, betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki
pemahaman”. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Bukti terdapat pada lafazh: فربّ مبلغ لا فقه عنده ""
“Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki
pemahaman”.
Dalam riwayat lain: "وربّ مبلغ أوعى من سامع"
“Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits)
lebih mengerti dari yang menyampaikan”.
Bagian dari lafazh hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita
bahwa di antara sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah
shallallahu 'alayhi wasallam ada yang hanya meriwayatkan saja dan
pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut kurang dari pemahaman orang yang
mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya
memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan
masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam hadits
tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang pemahamannya
kurang dari para murid dan orang yang mendengar hadits darinya. Pada lafazh lain
hadits ini:
" فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه "
“Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham
darinya”. Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu
'alayhi wasallam:
" إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد فأخطأ فله أجر "
(رواه البخاري)
Maknanya: “Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka ia
mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala”.
(H.R. al Bukhari)
Dalam hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم) secara khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad
dari pada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para mujtahid yang
sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman,
‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.
Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al
Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan sahabat hanya kurang dari
sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain
berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati tingkatan
Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja
demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al
Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid)
adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada
mereka”. Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan
ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang
ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang
pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja
tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman
atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang
budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab
mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun”.
Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama
suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini
bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang
berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman
rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak
perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman
anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah
berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua
dengan Kitabullah, al walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut
dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan
diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km)
setahun”.
Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada
para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama
di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah
memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka
mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya
tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi.
Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka
memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh
orang-orang bodoh yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita
juga manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti
para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn
Hanbal).
Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang
seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia
junub, setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya,
mereka menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena
kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka
telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka
bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya !”.
Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah
berkata : " Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut
lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa
badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa
seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya,
tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang
junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas,
yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang
memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.
Maka berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka yang
menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, padahal mereka sendiri, juga
para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya
adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori ini adalah orang-orang
yang di majelis-majelis mereka biasa membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu
ayat atau hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung
kepada para ulama. Orang-orang semacam ini adalah golongan yang menyempal dan
menyalahi para ulama Ushul Fiqh. Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah
pekerjaan seorang mujtahid”. Mereka juga menyalahi para ulama ahli
hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar